Rabu, 29 Maret 2017

Kewajiban menegakan imammah

Dari Abdullah bin Umar dari Nabi bersabda: “Barangsiapa mati sementara di lelernya tidak ada baiat, maka ia matiseperti cara mati jahiliyah.”[1]
    Hadits ini menjelaskan umat Islam wajib membai’at imam, karena muslim yang mati tanpa mempunyai baiat kepada imam adalah mati seperti para mati orang-orang jahiliyah yang tidak mempunyai imam.
  Tidak mungkin umat Islam membaiat jika tidak ada imam yang harus dibai'at. Dengan demikian,
  hadits ini mewajibkan umat Islam untuk menegakkan imamah dan mengangkat imam.
     Baca juga:
Definisi Imamah Menurut Para Ulama Dari Abu Sa'id Al-Khudri bahwa Rasulullah bersabda: “Jika tiga orangkeluar dalam perjalanan jauh, hendaklah mereka mengangkat salah satu di antara mereka sebagai pemimpin perjalanan.”[2]
     Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda: “Jika tiga orangkeluar dalam perjalanan jauh, hendaklah mereka mengangkat salah satu di antara mereka sebagai pemimpin perjalanan.[3]
    Dari Abdullah bin Amru bahwasanya Nabi bersabda, “Tidak halal bagi tiga orang yang berada di sebuah tempatterpencil di muka bumi ini kecuali mereka harus mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin.”[4]
   Dari Umar bin Khathab bahwasanya Nabi bersabda, “Jika kalian berjumlah tiga orang dalam satu perjalanan jauh hendaklah kalian mengangkat salah seorang dari kalian sebagai pemimpin! Itulah pemimpin yang diangkat oleh Rasulullah.”[5]
    Tentang makna hadits-hadits shahih di atas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahberkata, "Nabi mewajibkan pengangkatan salah seorang sebagai pemimpin dalam sebuah perkumpulan yang jumlahnya sedikit(tiga orang -penj) dan sifatnya sementara (perjalanan jauh-penj), untuk menunjukkan kewajiban (mengangkat pemimpin) tersebut dalam seluruh perkumpulan yang lain. Sebab lainnya, Allah telah mewajibkan amar ma'ruf nahi munkar, dan hal itu tak akan terlaksana dengan sempurna kecualidengan kekuatan dan kepemimpinan.
   Demikian pula kewajiban-kewajiban yang lain seperti jihad, keadilan, haji, shalat Jum’t, hari hari raya, menolong orang yang dizhalimi. dan penegakan hukum-hukum pidana, semuanya tak akan terlaksana dengan sempurna kecuali dengan kekuasaan dan kepemimpinan.[6]
    Imam Asy-Syaukani berkata. ''Jika pengangkatan pemimpin ini disyariatkan atas tiga orang yang berada di sebuah tempat terpencil atau tengah melakukan perjalanan jauh, maka persyari'atannya atas jumlah manusia yang lebih besar yang hidup di kampung-kampung dan kota-kota, yang mereka memerlukan pencegahan kezaliman sesama mereka dan pemecahan masalah yang dipersengketakan di antara mereka, adalah lebih layak dan lebih wajib lagi.
   Hal ini merupakan dalil bagi para ulama yang mengatakan wajib hukumnya atas kaum muslimin mengangkat para pemimpin tertinggi, pemimpin wilayah dan hakim.[7]
   Semua hadits yang memerintahkan umat Islam untuk menaati para pemimpin selama bukan dalam kemaksiatan, semua hadits yang memerintahkan umat Islam untuk berbait kepada pemimpin, semua hadits yang memerintahkan umat Islam untuk melaksanakan isi baiat dan tidak memberontak kepada pemimpin, adalah dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya menegakkan imamah dan mengangkat imam.
    Baca juga: Kewajiban Menegakkan Imamah Dan Mengangkat ImamSunnah fi’liyah Nabi.  Di Madinah, Nabi mendirikan negara Islam pertama. Beliau menetapkan piagam perjanjian yang mengatur hubungan antara warga penduduk Madinah: Yahudi, Anshar, dan Muhajirin. Piagam tersebut terkenal dengan, nama Mitsaq Al-Madinah.
   Beliau membangun sarana-sarana ibadah dan ekonomi, mempererat persaudaraan Muhajirin dan Anshar. mengirim pasukan jihad pul'uhan kali, menerima dan mengirim duta dari dan ke berbagai penguasa kerajaan di luar Jazirah Arab, menegakkan hukum pidana, menyelesaikan sengketa, mengurus kaum, fakir miskin, janda, anak yatimdan orang-orang lemah, mengadakan ikatan perdamaian dan gencatan senjata dengan musuh, mengatur urusan tawanan perang dan ahli dzimmah, mengatur ekonomi baitul mal. dan semua tugas-tugas kenegaraan lainnya.
   Semua ini adalali sunah fi'liyah beliau yang berfungsi sebagai penjelas bagi Al-qur'an dan sunnah Qauliyah beliau.Sunnali fi'liyah beliau dilanjutkan oleh para shahabat, dengan masa pemerintahan selama 30 tahun oleh Khulafa' Rasyidin: Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Sunnah fi'liyah Nabi . dan khulafa' rasyidun tersebut adalah petunjuk syariat yang wajib diikuti, berdasar sabda Nabi"Sesungguhnya orangyang masih hidup di antara kalian sepeninggalku akan melihat banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa' rasyidin mahdiyyin (para khalifah yang lurus lagi mendapat petunjuk) Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian.”[8]
    "Sungguh aku telah meninggalkan kalian di atas jalan yang terang benderang, malamnya bagaikan siangnya. Tiada seorang pun sepeninggalku yang menyimpang darinya, kecuali pasti akan binasa.”[9]
   Ijma' Sahabat   Generasi shahabat Nabi. telah berijma' atas wajibnya mengangkat seorang imam.
Mereka bahkan mendahulukan proses pemilihan danpengangkatan imam atas pemakaman jenazah Nabi padahal Nabi. telah memerintahkan penyegeraan pengurusan jenazah. Nabi . wafat pada hari Senin, ba'da Zhuhur tanggal 12 Rabi'ul Awwal 14 H, sementara proses pemakaman baru dilakukan pada tengah malam Rabu tanggal 14 Rabi’ul Awwal.
    Hal itu dikarenakan pada Senin sore dan Selasa tanggal 12-13 Rabi'ul Awwal dilakukan proses pemilihan dan pengangkatan Abu Bakar Ash-Shidiq sebagai imam.[10]
   Kesepakatan seluruh sahabat Muhajirin dan Anshar untuk memilih dan mengangkat imam sebelum memandikan, menshalatkan, dan memakamkan jenazah nabi padahal mereka juga mengetahui wajibnya penyegeraan pengurusan jenazah- merupakan ijma' mereka bahwa tidaksehari pun umat Islam boleh hidup tanpa memiliki imam.[11]
   Imam Ibnu Hajar Al-Haitami Al-MakkiAsy-Syafi'i berkata, “Juga perlu anda ketahui bahwa para shahabat Nabi telah berijma’ bahwa hukum mengangkat imam setelah berakhirnya masa kenabian adalah wajib. Mereka bahkan menjadikannya sebagai kewajiban yang paling penting di mana mereka tersibukkan olehnya dari memakamkan Nabi.”[12]
    Imam Ibnu Khaldun berkata:"Mengangkat imam adalah wajib. Kewajibannya dalam syariat bisa diketahui dari ijma' shahabat dan tabi'in, karena saat Nabi wafat, para shahabatnya bersegera membaiat Abu Bakar Ash-Shiddiq dan menyerahkan pengaturan urusan mereka kepadanya. Hal ini terus berlangsung pada setiap masa, sehingga ia telah tetap sebagai ijma’ yang menunjukkan kewajiban mengangkat imam.”[13]
   Imam An-Nawawi berkata: “Mereka telah berijma' bahwa kaum musliminwajib mengangkat seorang imam... “[14]
   Imam Al-Qurthubi berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat atas kewajiban ini -mengangkat imam- di antara umat maupun ulama, kecuali (pendapat menyimpang-penj) dari Al-Asham (Abu Bakar Abdurrahman bin Kaitan Al-Asham.
  tokoh Muktazilah generasi keenam -penj.) yang memang tuli dari (dalil-dalil) syari'at, dan setiap orang mengikuti pendapatnya tersebut.[15]
      Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi berkata: “ ..Seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji’ah, seluruh Syiah, dan seluruh Khawarij telah berijma’ atas wajibnya imamah, dan bahwa umat Islam wajib menaati imam yang adil, yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengan mereka dan mengatur mereka dengan hukum-hukum syariat yang dibawa oleh Rasulullah.
Hanya kelompok sempalan An-Najdat dalam sekte Khawarij saja yang menyelisi ijma’ ini, di mana mereka berkata:..Masyarakat tidak wajib mengangkatimam, yang penting mereka saling menunaikan hak di antara sesama.”[16]
    Ijma’ atas wajibnya mengangkat imam juga telah disebutkan ulama semua madzhab. Seperti: Al-Mawardi Asy-Syan'i dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyah, Manshur bin Yunus Al-Bahuti Al-Hambali dalam Kasyaful Qanna’, Ibnu Najjar Al-Hambali dalam Muntahal Iradat, Ibnu Taimiyah Al-Hambali dalam Asy-Siyasah Asy-Syar’iyah, Ibnu Abidin Al-Hanafi dalam Hasyiyah IbnuAbidin, Al-Kamal bin Abi Syarif Al-Hanafi dalam Al-Musamarah Syarh Al-Musayarah, dan lain-lain.Pihak-pihak yang menyelisihi ijma' ini hanyalah segelintir orang, yaitu kelompok Najdat dalam sekte Khawarij dan dua tokoh Mu'tazilah: Al-Asham Abdurrahman bin Kaisan dan Al-Fauthi Hisyam bin Umar Asy-Syaibani. Tentu saja pendapat mereka yang menyimpang ini tidak perlu diperhitungkan, karena jelas-jelas menyelisihi Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ generasi shahabat dan tabi’in. Kaum sekuler abad 20 dan 21 M juga menyelisihi hukum yang telah baku berdasar nash-nash Al-Qur'an, As-Sunnah, danIjma. ini.Kaedah Syar'iyahWajibnya penegakan imamah dan pengangkatan imam juga merupakan kepastian yang selaras dengan kaidah syariat dan fitrah manusia.Kaidah ushuliyah:"Jika sebuah kewajiban tidak terlaksana dengan sempurna kecuali dengan suatu sarana, Maka hukum sarana tersebut juga wajib.
       ''Sebagai makhluk sosial, kepemimpinan dengan segala aturannya mutlak diperlukan agar kehidupan manusia menjadi aman, tertib, rukun, dan damai. Tanpa adanya pemimpin dengan segala peraturannya, kehidupan akan runyam, kacau balau, dan penuh dengan kezaliman. Menolak kerusakan, kezaliman, dan kekacauan adalah tuntutan fitrah manusia, dan telah ditegaskan oleh syariat. Allah berfirman:Artinya: "Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (Qs. Al-Baqarah [2].(195))
    “Tidak boleh memulai tindakan yang merugikan orang lain, dan juga tidak boleh membalas dengan tindakan yang merugikan orang lain.”[17]
[1]HR. Muslim: kitabul Imarah no. 1851
[2] HR. Abu Daud no. 2608 dengan sanad shahih
[3] HR Abu Daud no. 2609 dengan sanad shahih
[4] HR. Ahmad, 2/77, sanadnya shahih
[5] HR. Al-Bazzar, 1/462, dengan sanad shahih
[6] Majmu’ Fatawa. 28/390-391
[7] Nailul Authar, 9/157
[8] HR, Abu Daud no. 4607, Tirmidzi. no. 2678, Ibnu Majah no. 42, dan lain-lain. Hadits shahih
[9] HR. Ibnu Abi 'Ashim dan Ibnu Majah no. 43, Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 58 dan Shahih Al-Jami' Ash-Shaghlr no. 4369.
[10] Bukhari kitab Fadhan. Asb-shahabah no. 3667, 3668
[11] HR. Bukhari: kitab Fadhail Ash-shahabah no. 3667, 3668.
[12] Ash-Shawa'iq Al-Muharriqah fi Ar-Raddi 'ala Ahlil Bida' wa Az-Zandaqah, hal. 7
[13] Mukaddimah Ibn. Khadun, hal. 191
[14] Syarh Shahih MusBm. 12/205
[15] Al-Jami’ Fi-Ahkamil Qur’an, 1/ 264
[16] Al-Fishal fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal, 4/ 87.
[17] HR. Ibnu Majah mp/234-2341